Pertolongan Pertama untuk Korban Gigitan Ular Berbisa

Pertolongan Pertama untuk Korban Gigitan Ular Berbisa

CIREBON – Kasus gigitan ular berbisa yang ditangani Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati cukup tinggi. Dari beberapa kejadian dapat disimpulkan bahwa penanganan pertama pada korban gigitan ular berbisa sangat menentukan keselamatan pasien.

Berdasarkan data RSD Gunung Jati, pada tahun 2019 sedikitnya ditangani 50 kejadian gigitan ular dan semua pasien selamat. Sementara terhitung sejak Januari hingga 14 Februari 2020, terdapat 10 kejadian dengan satu pasien meninggal dunia.

Dalam Talk Show Warkop Waw Radar Cirebon, Perawat RSD Gunung Jati, Nono Wartono mengungkapkan, dari kejadian gigitan ular yang ditangani Instalasi Gawat Darurat (IGD) hampir seluruh pasien datang dengan penanganan pertama kurang tepat.

Bahkan pada beberapa kasus area di sekitar bagian tubuh pasien diikat kencang. Padahal, cara ini dapat menghadirkan kerusakan jaringan. “Cara yang paling tepat imobilisasi,” ujar Nono, sembari mempraktekan cara tersebut (selengkapnya lihat infografis).

Dokter Spesialis Bedah RSD Gunung Jati, dr Hendra SpB menjelaskan, bila pertolongan pertama benar dilakukan kepada korban yang digigit ular berbisa, tidak akan terjadi fase sistemik merusak organ-organ.

Namun, ia pun menyayangkan hingga saat ini, Indonesia hanya memiliki tiga antibisa yang umum digunakan yang diproduksi PT Bio Farma. Serum tersebut efektif setidaknya hanya untuk tiga jenis ular yaitu kobra (Naja sputatrix), ular belang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma).

Padahal, di Indonesia ada 77 jenis ular berbisa.

Dia mencontohkan kasus balita di Kecamatan Mundu yang tergigir ular weling (bungarus candidus). Diduga, ular tersebut jenis baru. Bahkan bisa jadi hanya ada di Cirebon. “Faktor pencegahan menjadi sangat penting, karena kasus gigitan cukup tinggi,” katanya.

Hendra mendorong dilakukannya sosialisasi masif penanganan pertama gigitan ular berbisa. Juga penanganan di faktor lingkungan untuk mengurangi kemungkinan ular masuk ke permukiman.

Sementara itu, Wakil Direktur Pelayanan Medis RSD Gunung Jati, dr Maria berpendapat senada. Dia mendorong perubahan dalam penanganan pertama kasus gigitan ular berbisa. Kemudian, masyarakat imbau menjaga kebersihan lingkungan juga menyingkirkan hal-hal yang mengundang ular datang seperti, tikus, kandang ayam yang terlalu dekat dengan rumah dan lainnya.

Untuk penanganan oleh tenaga medis, juga telah dilakukan pelatihan oleh Dokter WHO yang juga ahli ular berbisa yakni, dr Tri Maharani.

Pada kesempatan wawacara dengan Radar Cirebon, kemarin, Tri mengatakan kesalahan dalam penanganan darurat pada kasus digigit ular di Indonesia dengan tidak sesuai standar WHO, membuat kasus digigit ular hingga tewas di Indonesia cukup tinggi.

Dia mengungkapkan kasus digigit ular di Indonesia pada 2016 mencapai 135 ribu orang terkena gigitan ular. Dan, 728 orang di antaranya digigit ular berbisa. Akibatnya, 35 korban meninggal.

Dia menyebut tingkat kematian korban digigit ular di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia rata-rata setiap tahun 40-50 kasus kematian akibat gigitan ular berbisa. Tapi, itu yang tercatat resmi di rumah sakit, kemungkinan masih ada yang tidak resmi dan tidak lapor. (ade)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: